Sobat muda akhir-akhir ini kita pernah mendengar tentang Quantitative Easing yang dilakukan pemerintah Amerika guna menekan perlambatan ekonominya akibat krisis ekonomi yang selama ini terjadi di US.
Quantitative Easing adalah penciptaan uang oleh bank sentral untuk memacu perkreditan dan mendorong pembelanjaan, yang akhirnya dapat menggerakan roda perekonomian. Quantitative mengacu pada kuantitas uang yang diciptakan, sedangkan easing mengacu pada mengurangi tekanan pada bank. Penerapan QE dilakukan dengan cara, dimana Bank Central memperluas distribusi uang dengan menggunakan menciptakan pinjaman baru untuk membeli aset milik Bank dan Institusi keuangan lainnya. Mendorong perekonomian dengan menggunakan uang hasil penjualan aset untuk pembelian produk barang, jasa dan lebih banyak aset lagi
QE di Inggris
Quantitative Easing pernah dilakukan oleh Bank of England (BoE) adalah dengan ‘mencetak’ sejumlah besar ‘uang baru’ di Balance Sheet-nya. Tidak perlu repot-repot mencetak secara fisik uang kertas atau koinnya, tetapi semata-mata hanya menambahkan angka baru secara elektronik di neraca bank sentral tersebut.
Setelah terbentuk, ‘catatan’ uang ini untuk membeli asset-asset bermasalah dari dunia perbankan (seperti kredit perumahan), surat utang negara dlsb. Dengan cara ini ‘uang’ yang tadinya hanya khayalan yang hanya diketikkan di neraca bank sentral, kini telah memasuki sistem keuangan negeri itu.
Di Inggris ada komite yang disebut The Bank’s Monetary Policy Committee yang memiliki otoritas untuk mencetak ‘tambahan uang’. Saat ini komite ini memiliki ijin untuk menambah ‘uang’ di balance sheet bank sentral sampai sejumlah 150 milyar pounsterling atau US$ 207 milyar. Dari batas yang diijinkan tersebut, saat ini komite telah menggunakan separuh dari jatah yang ada.
Maka apa dampaknya bagi rakyat Inggris ?; saat ini solusi tersebut belum tentu bisa menyelamatkan mereka dari krisis (yang sudah jelas adalah sebaliknya yaitu nilai uang yang ada di masyarakat akan terus turun).
Setelah terbentuk, ‘catatan’ uang ini untuk membeli asset-asset bermasalah dari dunia perbankan (seperti kredit perumahan), surat utang negara dlsb. Dengan cara ini ‘uang’ yang tadinya hanya khayalan yang hanya diketikkan di neraca bank sentral, kini telah memasuki sistem keuangan negeri itu.
Di Inggris ada komite yang disebut The Bank’s Monetary Policy Committee yang memiliki otoritas untuk mencetak ‘tambahan uang’. Saat ini komite ini memiliki ijin untuk menambah ‘uang’ di balance sheet bank sentral sampai sejumlah 150 milyar pounsterling atau US$ 207 milyar. Dari batas yang diijinkan tersebut, saat ini komite telah menggunakan separuh dari jatah yang ada.
Maka apa dampaknya bagi rakyat Inggris ?; saat ini solusi tersebut belum tentu bisa menyelamatkan mereka dari krisis (yang sudah jelas adalah sebaliknya yaitu nilai uang yang ada di masyarakat akan terus turun).
Mengapa QE dilakukan
Dalam rangka memulihkan ekonomi dan menggairahkan perkreditan, biasanya beberapa bank sentral besar memangkas suku bunga secara agresif hingga mencapai hampir nol.
Namun, langkah tersebut terlihat tidak manjur. Suku bunga sudah amat rendah, namun arus kredit masih terhambat dan banyak bank yang enggan untuk mengucurkan kredit.
Akhirnya mereka menemukan resep yang “kelihatannya” ampuh untuk mendorong perkreditan, pembelanjaan dan pertumbuhan, yaitu Quantitative Easing.
Dengan kata lain, bank sentral menciptakan uang dan menggunakan uang tersebut untuk membeli surat utang, seperti obligasi pemerintah, dari institusi keuangan, di pasar terbuka. Institusi keuangan itu lalu dapat menggunakan uang itu untuk mengucurkan kredit atau membeli aset lain. Namun, kini uang baru itu cenderung diciptakan secara elektronik dari pada dicetak secara fisik.
Tujuan Quantitative Easing adalah menambah jumlah uang beredar dengan pertambahan kredit yang akhirnya dapat merangsang arus uang di ekonomi seiring meningkatnya pembelanjaan. Quantitative Easing adalah solusi ketika cara normal menambah pasokan uang dengan memangkas suku bunga tidak ampuh lagi, biasanya ketika suku bunga hampir nol dan mustahil untuk memangkasnya lagi.
Meski pernah ada yang menerapkannya, faktor historis tidak bisa memberi jaminan cara ini akan efektif. Hanya ada satu kasus sukses, yaitu Jepang antara 2001 dan 2006. Namun, para ahli tidak bisa sepakat apakah taktik ini jitu buat US atau Inggris. Di satu sisi, karena PDB Jepang tidak merosot. Sedangkan di Inggris & US, pertumbuhan PDB kecil dan tidak konsisten.
Meski Quantitative Easing belum tentu efektif, patut dicoba bila tidak membahayakan. Namun, keamanannya jauh dari pasti. Sekali lagi, sejarah tidak bisa menjadi patokan keberhasilan. Jepang tidak mendapat efek samping, inflasinya rendah dan yen-nya kuat. Tapi pencetakan uang yang terlalu banyak terbukti membawa bencana, seperti yang terjadi di Zimbabwe saat ini.
Meski QE diharapkan mampu menggairahkan ekonomi AS dan Inggris, namun Quantitative Easing tetap berisiko. Terlalu banyak uang beredar, bila tidak segera ditanggulangi, bisa menyebabkan hiperinflasi. Selain itu, belum dapat dipastikan apakah banjirnya kredit akan membantu ekonomi yang luluh lantah karena dampak merajalelanya kredit yang serampangan. Tapi bila sudah dijalankan, yang terpenting bagi bank sentral dan Departemen Keuangan adalah berkomitmen dan bekerjasama untuk membalikan kebijakan ketika keadaan membaik.
Teknik-teknik canggih dalam mengatasi krisis semacam ini, sangat mungkin dilakukan oleh negara-negara lain juga; mungkinkah juga di negara kita ?. Oleh karenanya rakyat atau melalui wakil-wakilnya hendaknya memiliki akses terhadap para pengambil kebijakan-kebijakan publik sehingga ada yang memahami dan mengawasi mereka.
Kalau kita tidak yakin tentang pengawasan ini, rakyat tetap bisa berbuat mengamankan hasil jerih payahnya yaitu dengan mempertahankan asset fisik atau uang dengan nilai intrinsik yang bisa berupa emas, perak, kebun, ternak dlsb. Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar